assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh



إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ



Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (yusuf:2)

Senin, 12 Desember 2011

Psikologi Pasien HIV AIDS dan Kanker



Acruired Immune Deficiensy Syndrome atau yang lebih dikenal dengan istilah AIDS merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya kelainan yang komplek dalam sistem pertahanan selular tubuh dan menyebabkan korban menjadi sangat peka terhadap mikroorganisme oportunistik. Penyakit AIDS disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus atau disingkat dengan HIV. Penyakit ini merupakan penyakit kelamin, yang pada mulanya dialami oleh kelompok kaum homoseksual. AIDS pertama kali ditemukan di kota San Francisco, Amerika Serikat. Penyakit ini muncul karena hubungan seksual (sodomi) yang dilakukan oleh komunitas kaum homoseksual (Varney, 2006: 151).

Menurut data UNAIDS/WHO AIDS Epidemic Update yang dipublikasikan pada 21 November 2007, diperkirakan 39,5 juta Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Terdapat 4,3 juta infeksi baru pada 2006, 2,8 juta (65 persen) dari jumlah tersebut terjadi di Sub-Sahara Afrika, sedangkan kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara menyumbang angka 860.000 (15 persen).

Pasien yang menderita AIDS memperlihatkan adanya gangguan psikologis berupa stres dan depresi yang ditunjukkan dengan perasaan sedih, putus asa, pesimis, merasa diri gagal, tidak puas dalam hidup, merasa lebih buruk dibandingkan dengan orang lain, penilaian rendah terhadap tubuhnya, dan merasa tidak berdaya. (Jeffry dkk, 2006: 157).



Studi yang dilakukan oleh Meredith (dalam Varney: 2006) yang menanyai wanita HIV positif mengenai apa yang mereka butuhkan dari perawatan mereka, menjawab:

1. Perawatan personal dan dihargai

2. Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah-masalahnya

3. Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya

4. Tindak lanjut medis

5. Mengurangi penghalang untuk pengobatan

6. Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka

Selain itu beberapa studi lainnya menjelaskan bahwa seorang penderita HIV AIDS setidaknya membutuhkan bentuk dukungan dari lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi 3 hal:

1. Emotional support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan diperhatikan

2. Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat

3. Materials support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu barang dalam mengatasi suatu masalah. (Nursalam, 2007)

Pasien yang didiagnosis dengan HIV akan mengalami masalah fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. Masalah psikologis yang timbul adalah:

1. Stres, yang ditandai dengan menolak, marah, depresi, dan keinginan untuk mati.

Individu yang terinfeksi AIDS (atas pemberitahuan dokter), biasanya mengalami shock. Bisa putus asa (karena shock berat). Penderita mengalami “depressi berat”, sehingga menyebabakan penyakit makin lama makin berat, timbul berbagai infeksi opotunistik, penderita makin tersiksa. Biaya pengobatan tambah besar, macam penyakit tambah banyak, obat yang di beri harus tambah banyak dan tambah keras, dengan berbagai efek samping, yang memperparah keadaan penderita.

2. Keyakinan diri yang rendah pada penderita HIV/AIDS akan menyebabkan penderita mengalami hypochondria.

Dimana penderita seringkali memikirkan mengenai kehilangan, kesepian dan perasaan berdosa di atas segala apa yang telah dilakukan sehingga menyebabkan mereka kurang menitik beratkan langkah-langkah penjagaan kesehatan dan kerohanian mereka. Seorang pasien yang telah didiagnosis HIV positif dan mengetahuinya, kondisi mental penderita akan mengalami fase yang sering disingkat SABDA (Shock, Anger, Bargain, Depressed, Acceptance).

3. Kecemasan akan HIV/AIDS berkorelasi negatif dengan Psychological Well Being (kesejahteraan psikologis)

Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kecemasan pada penderita HIV/AIDS, maka Psychological Well Being (kesejahteraan psikologis) pada penderita HIV/AIDS akan semakin rendah.

Dalam pandangan masyarakat, ODHA sering dianggap memiliki perilaku yang tercela (orang jahat) dan mereka kemudian dilihat sebagai orang yang berhak mendapatkan takdir atas perilaku tercela tadi. Pada saat yang sama masyarakat menyalahkan ODHA sebagai sumber penularan penyakit AIDS. Pandangan dan pendapat masyarakat tentang HIV/AIDS yang akhirnya menimbulkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Menurut The Centre for the Study of AIDS University of Pretoria, terdapat 2 macam stigma, yaitu:

a. Eksternal stigma

Eksternal stigma merujuk pada pengalaman ODHA yang diperlakukan secara tidak wajar/tidak adil dan berbeda dengan orang lain. Eksternal stigma meliputi:

1) Menjauhi (avoidance), yakni orang-orang menjauhi ODHA atau tidak menginginkan untuk menggunakan peralatan yang sama.

2) Penolakan (rejection), yakni orang-orang menolak ODHA. Hal ini dapat dilakukan oleh anggota keluarga atau teman yang tidak mau lagi berhubungan dengan ODHA atau dapat juga suatu masyarakat atau kelompok tertentu yang tidak mau menerima ODHA.

3) Peradilan moral (moral judgement), yakni orang menyalahkan ODHA karena status HIV mereka atau melihat ODHA sebagai orang yang tidak bermoral.

4) Stigma karena hubungan (stigma by association), yakni orang yang terkait dengan ODHA (seperti keluarga atau teman dekatnya) akan terstigma juga karena keterkaitan tersebut.

5) Keenggganan untuk melibatkan ODHA (unwillingness to invest in PLHA), yakni orang mungkin akan dipinggirkan dalam suatu organisasi/kelompok karena status HIV mereka.

6) Diskriminasi (discrimination), yakni penghilangan kesempatan untuk ODHA, seperti ditolak untuk bekerja, ditolak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai atau petugas menolak untuk melayani ODHA.

7) Pelecehan (abuse), yakni ODHA yang secara fisik ataupun lisan dilecehkan.

8) Pengorbanan (victimization), sebagai contoh anak-anak yang terinfeksi HIV atau anak yatim piatu yang orangtuanya meninggal karena AIDS.

9) Pelanggaran hak asasi manusia (abuse of human right), sebagai contoh pelanggaran asas kerahasiaan seperti membuka status HIV seseorang pada orang lain tanpa persetujuan yang bersangkutan atau dilakukan tes HIV tanpa melakukan informed consent.

b. Internal stigma

Internal stigma adalah perasaan tertentu seseorang tentang diri mereka sendiri seperti rasa malu atau rasa takut ditolak. Internal stigma meliputi:

1) Mengasingkan diri dari pelayanan atau kesempatan (self-exclusion from services or opportunities), yakni ODHA tidak menginginkan untuk mendapatkan pelayanan atau tidak bekerja karena mereka takut diketahui sebagai ODHA.

2) Persepsi terhadap diri sendiri (perception of self), ODHA memiliki rasa rendah diri karena status HIV mereka yang positif.

3) Penarikan diri secara sosial (social withdrawal), ODHA akan menarik diri dari hubungan pribadi dan sosial.

4) Mengganti secara berlebihan (overcompensation), ODHA percaya bahwa mereka seharusnya memberi lebih dibanding orang lain atau adanya perasaan berhutang jika orang lain bersikap baik pada mereka.

5) Ketakutan untuk pengungkapan (fear of disclosure), ODHA tidak akan mengungkapkan status HIV mereka karena mereka takut akan konsekuensinya.


Mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu untuk menghadapi perubahan yang diterima. Apabila mekanisme koping berhasil, maka orang tersebut akan dapat beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Mekanime koping dapat dipelajari, sejak awal timbulnya stresor dan orang menyadari dampak dari stresor tersebut. Kemampuan koping dari individu tergantung dari temperamen, persepsi, dan kognisi serta latar belakang budaya/norma dimana dia dibesarkan. Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat. Belajar disini adalah kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada pengaruh faktor internal dan eksternal. Menurut Roy, yang dikutip oleh Nursalam (2007) mekanisme belajar merupakan suatu proses didalam sistem adaptasi (cognator) yang meliputi mempersepsikan suatu informasi, baik dalam bentuk implisit maupun eksplisit.

Belajar implisit umumnya bersifat reflektif dan tidak memerlukan kesadaran (focal) sebagaimana terlihat pada gambar. Keadaan ini ditemukan pada perilaku kebiasaan, sensitisasi dan keadaan. Pada habituasi timbul suatu penurunan dari transmisi sinap pada neuron sensoris sebagai akibat dari penurunan jumlah neurotransmitter yang berkurang yang dilepas oleh terminal presinap. Pada habituasi menuju ke depresi homosinaptik untuk suatu aktivitas dari luar yang terangsang terus menerus. Sensitifitas sifatnya lebih kompleks dari habituasi, mempunyai potensial jangka panjang (beberapa menit sampai beberapa minggu). Koping yang efektif menempati tempat yang central terhadap ketahanan tubuh dan daya penolakan tubuh terhadap gangguan maupun serangan suatu penyakit baik bersifat fisik maupun psikis, sosial, spiritual. Perhatian terhadap koping tidak hanya terbatas pada sakit ringan tetapi justru penekanannya pada kondisi sakit yang berat.

Lipowski membagi koping dalam 2 bentuk, yaitu:

a) Coping style merupakan mekanisme adaptasi individu meliputi mekanisme psikologis dan mekanisme kognitif dan persepsi. Sifat dasar coping style adalah mengurangi makna suatu konsep yang dianutnya, misalnya penolakan atau pengingkaran yang bervariasi yang tidak realistis atau berat (psikotik) hingga pada tingkatan yang sangat ringan saja terhadap suatu keadaan.

b) Coping strategy merupakan koping yang digunakan individu secara sadar dan terarah dalam mengatasi sakit atau stresor yang dihadapinya. Terbentuknya mekanisme koping bisa diperoleh melalui proses belajar dalam pengertian yang luas dan relaksasi. Apabila individu mempunyai mekanisme koping yang efektif dalam menghadapi stresor, maka stresor tidak akan menimbulkan stres yang berakibat kesakitan (disease), tetapi stresor justru menjadi stimulan yang mendatangkan wellness dan prestasi.

Beradaptasi terhadap penyakit memerlukan berbagai strategi tergantung ketrampilan koping yang bisa digunakan dalam menghadapi situasi sulit.

Ada 3 teknik koping yang ditawarkan dalam mengatasi stress:

a) Pemberdayaan Sumber Daya Psikologis (Potensi diri)

Sumber daya psikologis merupakan kepribadian dan kemampuan individu dalam memanfaatkannya menghadapi stres yang disebabkan situasi dan lingkungan. Karakterisik di bawah ini merupakan sumber daya psikologis yang penting.

1. Pikiran yang positif tentang dirinya (harga diri)

Jenis ini bermanfaat dalam mengatasi situasi stres, sebagaimana teori dari Colley’s looking-glass self: rasa percaya diri, dan kemampuan untuk mengatasi masalah yg dihadapi.

2. Mengontrol diri sendiri

Kemampuan dan keyakinan untuk mengontrol tentang diri sendiri dan situasi (internal control) dan external control (bahwa kehidupannya dikendalikan oleh keberuntungan, nasib, dari luar) sehingga pasien akan mampu mengambil hikmah dari sakitnya (looking for silver lining).

Kemampuan mengontrol diri akan dapat memperkuat koping pasien, perawat harus menguatkan kontrol diri pasien dengan melakukan:

(1) Membantu pasien mengidentifikasi masalah dan seberapa jauh dia dapat mengontrol diri

(2) Meningkatkan perilaku menyeleseaikan masalah

(3) Membantu meningkatkan rasa percaya diri, bahwa pasien akan mendapatkan hasil yang lebih baik

(4) Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengambil keputusan terhadap dirinya

(5) Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi dan lingkungan yang dapat meningkatkan kontrol diri: keyakinan, agama

b) Rasionalisasi (Teknik Kognitif)

Upaya memahami dan mengiterpretasikan secara spesifik terhadap stres dalam mencari arti dan makna stres (neutralize its stressfull). Dalam menghadapi situasi stres, respons individu secara rasional adalah dia akan menghadapi secara terus terang, mengabaikan, atau memberitahukan kepada diri sendiri bahwa masalah tersebut bukan sesuatu yang penting untuk dipikirkan dan semuanya akan berakhir dengan sendirinya. Sebagaian orang berpikir bahwa setiap suatu kejadian akan menjadi sesuatu tantangan dalam hidupnya. Sebagian lagi menggantungkan semua permasalahan dengan melakukan kegiatan spiritual, lebih mendekatkan diri kepada sang pencipta untuk mencari hikmah dan makna dari semua yang terjadi.

c) Teknik Perilaku

Teknik perilaku dapat dipergunakan untuk membantu individu dalam mengatasi situasi stres. Beberapa individu melakukan kegiatan yang bermanfaat dalam menunjang kesembuhannya. Misalnya, pasien HIV akan melakukan aktivitas yang dapat membantu peningkatan daya tubuhnya dengan tidur secara teratur, makan seimbang, minum obat anti retroviral dan obat untuk infeksi sekunder secara teratur, tidur dan istirahat yang cukup, dan menghindari konsumsi obat-abat yang memperparah keadan sakitnya.

Selama hari-hari sulit dimana pasien dengan HIV AIDS, keluarga dapat menjadi sangat tergantung pada keputusan professional. Oleh sebab itu, seorang tenaga professional hendaknya secara empati mampu mengarahkan dan memberikan pilihan pada keluarga untuk menemukan tempat rujukan terbaik, berupa klinik kesehatan mental, layanan psikolog/psikiater atau dokter dengan spesialisasi kejiwaan.

Dalam hal pemberian pengarahan alternatif rujukan ini, Laura A. Talbot menganjurkan bekerja dengan anggota keluarga dengan jalan:

1) Memberikan pilihan

2) Membantu mereka mengidentifikasi dan memfokuskan perasaan

3) Mendorong istirahat dari krisis

4) Memberi pengarahan dalam cara memberi tanggung jawab dan harapan

2 komentar:

Ayik mengatakan...

tulisan'a bagus. btw boleh tw ga daftar pustaka lebgkap yg dipake? soal'a lagi nyusun tugas akhir ttg HIV?AIDS jga... mkasi. mampir ke blog aq ya.........

Unknown mengatakan...

TULISAN YG BAGUS...KEBETULAN SAYA LAGI BUTUH SEKALI..GOOD JOB